Menurut kamu 4+4+4+4+4+4 itu berarti 4X6 atau 6X4? Persoalan inilah yang jadi heboh di media sosial setelah Muhammad Erfas Maulana, mahasiswa Jurusan Teknik Mesin Universitas Diponegoro, me-posting-kan hal tersebut di media sosial miliknya. Hal ini terjadi setelah Erfas yang membantu adiknya mengerjakan tugas Matematika mempertanyakan alasan guru menyalahkan jawaban sebuah soal.
Dalam soal tugas itu, guru meminta adik Erfas untuk menyatakan 4+4+4+4+4+4 dalam operasi perkalian. Adik Erfas menuliskan jawaban bahwa 4+4+4+4+4+4 = 4×6. Jawaban itu, menurut Erfas, seharusnya benar. Namun, ternyata sang guru menyalahkan. Menurut guru, jawaban yang seharusnya adalah 6×4. muncullah perdebatan seru di media sosial. Mana yang benar, 4×6 atau 6×4?
Saking serunya perdebatan, profesor Matematika dari Institut Teknologi Bandung, Iwan Pranoto, pun turut berkomentar. Ia memberi sedikit kultwit untuk menjelaskan permasalahan itu.
Menurut Iwan, 4×6 ataupun 6×4 sebenarnya sama. Namun, bisa saja salah bila dilihat dalam konteks tertentu.
Iwan memberi ilustrasi. Ia mencontohkan, bila pertanyaan guru adalah “Jika 2×3 = 3+3, tentukan 3×4″, maka jawaban yang seharusnya adalah 4+4+4. “Jika dengan pertanyaan ini anak jawabnya 3+3+3+3, barulah salahkan,” katanya lewat akun Twitter-nya.
Namun, Iwan mengungkapkan, bila pertanyaannya hanya 3×4, maka anak bisa menjawab 3+3+3+3 atau 4+4+4. Semuanya benar. Dengan demikian, didasarkan pada pendapat Iwan, 4+4+4+4+4+4 bisa saja dinyatakan 4×6 atau 6×4 dalam operasi perkalian. Jawaban adik Erfas dalam tugas Matematika-nya seharusnya tidak disalahkan.
“Cara bertanya guru Matematika di Indonesia mungkin salah. Juga cara mengoreksinya salah,” katanya. Iwan mengatakan, saat ini dibutuhkan pembenahan sikap, budaya, dan cara berpikir guru Matematika. “Mengubah sikap guru Matematika yang luwes bernalar merupakan tantangan bagi institusi penyiapan guru kita, LPTK,” ungkapnya.
Dalam Matematika, kata Iwan, tidak ada kebenaran, yang ada kesahihan. Jika penalaran sahih, maka bisa diterima walaupun kesimpulannya aneh. Akar perdebatan Matematika ini bisa jadi adalah kebiasaan untuk hanya menerima pengertian tunggal, ditetapkan oleh penguasa. “Kita tak berdaya menentukan sendiri,” kata Iwan.
Iwan menerangkan, tak cuma dalam perkalian. Dalam pembagian pun dikenal dua pengertian berbeda, misalnya, 125 ÷ 5 tentunya lebih cocok diartikan sebagai partisi. Sedangkan 125 ÷ 25 tentunya lebih cocok dinyatakan pengurangan berulang.
Muhammad Erfas Maulana Minta Maaf karena Buat Kehebohan di Media Sosial
Setelah membuat kehebohan dengan soalan 4X6 atau 6X4, Muhammad Erfas Maulana, pengunggah soal Matematika “4 x 6 atau 6 x 4″ meminta maaf karena telah membuat kehebohan di media sosial. Ia menuliskan permohonan maaf itu di dinding akun Facebook-nya:mohon maaf, saya sudah menghebohkan media sosial beberapa hari terakhir ini. baru saja saya mengkonfirmasikan ini kepada guru. saya juga sudah meminta maaf sebesar-besarnya kepada beliau.
sekali lagi saya mohon, jangan ada yang menyalahkan guru karena guru sudah mengajarkan sesuai konsep dan buku yang ada. sang guru juga tidak menyalahkan pendapat saya.
sesuai kurikulum 2013 yang membebaskan murid menyelesaikan suatu persoalan sesuai kemampuan nalar masing-masing, saran saya adalah untuk memperbaiki buku dengan tidak hanya terfokus dengan satu cara penyelesaian, namun memberikan banyak cara penyelesaian. disitu murid akan memilih cara sesuai pemahaman termudah masing-masing murid.
itu saran saya saja sih, kalo ada yang kurang berkenan dengan saran saya, saya mohon maaf yang sebesar-besarnya.
berbicara mengenai kurikulum 2013, menurut saya, kurikulum tersebut sangat baik. siswa tidak hanya dituntut untuk mengetahui pengetahuan, namun juga diajari berketrampilan sehingga siswa diharapkan lebih kreatif dan bersikap agar dapat mempunyai moral yang baik saat hidup bermasyarakat. jadi ada 3 aspek penilaian disini, pengetahuan, ketrampilan, dan sikap.
dengan kurikulum ini, saya melihat bahwa anak-anak lebih senang untuk pergi ke sekolah. mereka menjadi bersemangat karena di sekolah diajari untuk membuat berbagai kerajinan tangan atau membuat sesuatu yang menarik bagi mereka.
mungkin banyak orang tua yang bingung mengenai kurikulum 2013 karena mata pelajaran di kurikulum ini dicampur. misal matematika, ipa, ips, bahasa indonesia, ppkn, dll dilebur menjadi tematik.
menurut saya, hal ini dikarenakan orang tua dari dulu sudah terbiasa menggunakan kurikulum yang mata pelajarannya dipisah, matematika sendiri, bahasa indonesia sendiri, ipa sendiri, dll. coba dari dulu pendidikan di indonesia menggunakan kurikulum dimana mata pelajarannya dicampur seperti kurikulum 2013, saya rasa orang tua pun tidak akan bingung mengajari anaknya sekarang. misal, dari dulu kita terbiasa menuliskan resep obat 3 x 1, dibaca tiga kali sehari, satu butir. bayangkan bila dari dulu resep penulisan obat adalah 1 x 3, dibaca satu butir, tiga kali sehari. semuanya 1 + 1 + 1 . kembali lagi ini semua adalah tentang kebiasaan.
saya rasa, murid yang mendapatkan kurikulum sejak kelas 1 SD tidak akan kebingungan dalam belajar. berbeda lagi bila dari kelas 1 – 3 SD mendapat kurikulum lama yang mata pelajarannya dipisah, namun tiba-tiba saat naik ke kelas 4 SD mereka mendapat kurikulum 2013 dimana mata pelajaran dicampur. disini saya rasa akan terdapat kebingungan pada murid, mereka harus menyesuaikan lagi.
itulah pandangan saya tentang kurikulum 2013, mohon maaf bila ada pihak-pihak yang kurang berkenan.
saya sangat menyesal atas semua yang sudah terjadi, saya tidak ingin memperpanjang semua ini. mungkin ini dapat menjadi pelajaran bagi saya pribadi dan kita semua
terima kasih.”
Source: Kompas.com
0 komentar:
Posting Komentar